APA KABAR DENGAN KPK???
Oleh : Dzuhrida Saskia Pratiwi
Hampir 4 bulan sudah lima Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih memimpin lembaga anti korupsi. Apa kabar yaa dengan KPK saat ini? setelah dilantik sekarang jarang kita dengar beritanya, sudah sejauh mana upaya KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi?
Hampir 4 bulan sudah lima Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih memimpin lembaga anti korupsi. Apa kabar yaa dengan KPK saat ini? setelah dilantik sekarang jarang kita dengar beritanya, sudah sejauh mana upaya KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi?
Sejauh yang kita lihat sekarang, alih-alih menunjukkan prestasi KPK justru melahirkan berbagai kontroversi. Selama hampir 4 bulan menjabat sebagai Pimpinan KPK, setidaknya tercatat ada beberapa kontroversi publik yang timbul, diantaranya adalah KPK gagal menangkap buronan. Sebagaimana diketahui bahwa dua buronan KPK saat ini masih saja belum ditangkap, siapa lagi kalau bukan Harun Masiku dan Nurhadi. Padahal rekam jejak lembaga anti korupsi selama ini dikenal cepat dalam menemukan pelaku korupsi yang melarikan diri. Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Colombia. Sedangkan Harun Masiku sudah menjadi buron beberapa bulan lamanya, padahal kabar terakhir dia sudah tiba di Indonesia sejak tanggal 7 Januari 2020 setelah dikabarkan terbang ke Singapura.
Kontroversi lain terlihat dari tidak transparannya KPK dalam memberikan informasi terkait penanganan perkara kepada publik. Hal ini bisa dilihat dari kejadian dugaan penyekapan penyidik KPK di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) saat mengejar Harun Masiku sebelum menjadi buron. Sampai saat ini tidak ada satupun Komisioner KPK yang memberikan informasi yang utuh dan jujur tentang kejadian tersebut. Bahkan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI, Ketua KPK menolak memberikan jawaban ketika ditanya tentang kejadian di PTIK.
Tidak berhenti membuat kontroversi, kembali komisioner KPK terlihat bertindak sewenang-wenang terhadap pegawainya sendiri. Bukti konkret atas tindakan ini dapat dilihat ketika Penyidik KPK, Kompol Rossa, diberhentikan tanpa melalui mekanisme yang jelas. Padahal yang bersangkutan sedang menangani perkara dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan mantan calon anggota legislatif PDIP Harun Masiku. Tak hanya itu, masa tugas Kompol Rossa pun baru berakhir pada September mendatang, ia juga tidak pernah dijatuhi sanksi apapun di KPK. Melihat hal ini publik menjadi bertanya-tanya, apakah diberhentikannya Kompol Rossa murni atas dasar kelalaiannya dalam bekerja atau ada maksud lain dibelakangnya? Kita tak pernah tau.
Selain itu, komisioner KPK juga berniat memotong kompas proses hukum atas Harun Masiku untuk menutupi kelemahan mereka dalam mencari tersangka tersebut. Alih-alih serius mencari yang bersangkutan, Pimpinan KPK justru mendorong persidangan secara in absentia terhadap Harun Masiku. Memang secara yuridis hal itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Tipikor. Akan tetapi jika dilihat lebih detail pada bagian penjelasan maka niat dari Komisioner KPK itu keliru. Sebab, metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap.
Jumlah penindakan yang dilakukan oleh KPK menurun drastis. Data KPK menyebutkan sejak tahun 2016-2019 lembaga anti korupsi telah melakukan tangkap tangan sebanyak 87 kali dengan total tersangka 327 orang. Akan tetapi pada kepemimpinan Firli Bahuri, KPK baru melakukan dua kali tangkap tangan, yakni melibatkan Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo. Yang mana kedua perkara tersebut bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs.
Disisi lain juga, Komisioner KPK terlalu sering melakukan pertemuan yang berpotensi mengikis nilai-nilai independesi dan etika pejabat KPK. Terhitung sejak Januari hingga Februari 2020, Komisioner KPK telah mendatangi 17 instansi negara. Tiga diantaranya kunjungan ke DPR RI. Jelas ini menggambarkan bahwa para Komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan. Jika dibenarkan dengan dalih sosialisasi pencegahan, hal itu tidak dapat diterima dengan akal sehat karena strategi pencegahan sudah jelas alur, pendekatan dan kebijakan-kebijakan teknisnya.
Tak berhenti disitu, lagi-lagi kontroversi mereka ciptakan. tepatnya tanggal 20 Februari 2020 kemarin Komisioner KPK mengumumkan kepada publik terkait penghentian 36 perkara di tingkat penyelidikan. Tentu publikasi semacam ini tidak lazim dan belum pernah terjadi di KPK. Sebab, keseluruhan perkara tersebut masih dimungkinkan dilanjutkan ke tingkat penyidikan jika di kemudian hari ditemukan bukti tambahan. Selain itu dalam UU KPK, UU Tipikor, bahkan KUHP sekali pun, memang tidak pernah mengenal istilah publikasi penghentian di tingkat penyelidikan.
Selain itu, faktor UU KPK baru pun secara langsung mempengaruhi ritme kerja KPK. Mulai dari proses penindakan yang terlalu birokratis karena adanya Dewan Pengawas, kelembagaan yang tidak lagi independen, sampai pada kekhawatiran perkara besar akan dihentikan melalui instrumen surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.
Karena itu pula, kepercayaan publik terhadap KPK turun drastis. Riset Indo Barometer dan Alvara Institute pada awal tahun 2020 menggambarkan hal itu. Kedua riset tersebut sekaligus mengkonfirmasi pesimisme masyarakat luas atas proses seleksi pimpinan KPK yang dianggap tidak kredibel, ceroboh dan tidak mengindahkan berbagai rekam jejak yang ada.
Pada akhirnya akar persoalan pemberantasan korupsi saat ini ada pada komitmen Presiden Joko Widodo dan segenap anggota DPR RI. Sebab bagaimanapun persoalan stagnasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi adalah produk politik eksekutif dan legislatif.
Namun, harus digaris bawahi bahwa persoalan korupsi bukan hanya tugas KPK. Ini adalah perilaku yang harus dilawan oleh semua kalangan masyarakat. Persoalan korupsi bukanlah persoalan hukum saja, akan tetapi juga persoalan etik dan kemanusiaan. Yang mana penyelesaiannya tidak bisa diserahkan pada elit. Ini adalah tugas gerakan rakyat.
Sumber data :
www.kpk.go.id
m.cnnindonesia.com
amp.tirto.id
Sungguh berat fitnah dunia..
BalasHapusTrus berkarya sodarakuu.. Suarakan kepada public.. IMM jaya.. Uhuuyy..🔥🔥🔥
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus